Senin, 12 November 2018

Aspek Agraria Dalam Pembangunan (Aspek Hukum Dalam Pembangunan)


1.      Definisi Aspek Agraria

Acuan dasar, sekaligus syarat pokok, untuk dapat merumuskan kebijakan dan program keagrariaan yang membumi adalah pengetahuan yang memadai tentang realitas empiris keagrariaan tersebut.  Di Indonesia, secara umum dapat dikatakan akumulasi pengetahuan keagrariaan masih terbatas.  Pangkal penyebabnya adalah stigmatisasi “masalah agraria” sebagai “agenda komunisme” bersamaan dengan peralihan  kekuasaan dari rejim Soekarno ke rejim Soeharto tahun 1966.  Pelarangan terhadap ideologi dan organisasi komunis sejak masa itu, praktis kemudian ditafsirkan sebagai pelarangan terhadap debat dan kajian agraria juga.  Konsisten dengan hal tersebut, tema agraria sejak saat itu boleh dikatakan “membeku”, kalau bukan “lenyap”, dari khasanah penelitian sosial di Indonesia (White, 2002:62; Wiradi, 2000:13).  Hasilnya ilmuwan sosial dan birokrat pemerintahan menjadi “buta agraria”. Akibat lebih lanjut, mereka mengalami kesulitan untuk merumuskan suatu kebijakan reforma agraria ketika hal itu dimungkinkan, menyusul jatuhnya rejim Soeharto tahun 1998.

Mengacu pada masalah di atas, tulisan ini merupakan bagian kecil dari upaya untuk membangkitkan debat dan kajian agraria di Indonesia, khususnya di lingkungan peneliti sosial.  Untuk memenuhi maksud itu, di sini hendak ditawarkan dua hal yaitu, pertama, suatu kerangka  analisis bagi kajian agraria dan, kedua, suatu pilihan metode untuk kajian agraria di Indonesia.  Karena statusnya tawaran, sudah pasti tulisan ini tidak berpretensi memaksakan  suatu kerangka ataupun metode kajian agraria tertentu.

Diskusi tentang kerangka kajian agraria harus dimulai dari konsep inti didalamnya yaitu konsep “agraria” itu sendiri.  Di Indonesia, konsep “agraria” kini tergolong sebagai konsep yang populer, dalam arti “dikenal benar oleh  banyak orang tetapi hanya dimengerti benar oleh sedikit orang”.  Dalam khasanah pengetahuan umum, pengertian konsep agraria itu telah direduksi sebagai “pertanian” (agriculture), atau bahkan lebih sempit lagi hanya sebatas “tanah pertanian” (land). Melalui suatu penelusuran etmologis dan historis, Tjondronegoro dan Wiradi (2001) dengan jelas telah menunjukkan bahwa pereduksian makna agraria seperti di atas merupakan kesalahan tafsir yang serius.  Melalui  penelusuran etimologis Kamus Bahasa LatinIndonesia (1969) dan World Book Dictionary (1982), mereka menunjukkan bahwa istilah "agraria" itu berasal dari kata ager dalam bahasa Latin. Arti kata itu adalah: (a)lapangan; (b)pedusunan (lawan dari perkotaan); (c)wilayah. Kembaran kata tersebut adalah kata agger, artinya: (a)tanggul penahan/pelindung; (b)pematang;  (c)tanggul  sungai; (d)jalan tambak; (e)reruntuhan tanah;  (f)bukit. 

Jelas, menurut mereka, secara etimologis konsep agraria mengandung pengertian yang jauh lebih luas dari sekadar “tanah pertanian” atau "pertanian" saja. Kata-kata “bukit”, "pedusunan", dan "wilayah" menunjuk pada pengertian yang luas, yaitu suatu bentang alam yang mencakup keseluruhan kekayaan alami (fisik dan hayati) dan kehidupan sosial yang terdapat di dalamnya.  Dengan demikian konsep “agraria” mengandung dua unsur yang saling mengandaikan dalam kehadirannya yaitu kekayaan alami dan manusia sosial.  Unsur pertama (kekayaan alami), kemudian dikenal sebagai sumber agraria,  dapat disebut sebagai obyek agraria dan yang kedua (manusia sosial) sebagai subyek agraria. 

Dalam keseluruhan pengertian agraria tersebut “tanah” (land) memiliki posisi sentral, tidak lain karena ia mewadahi keseluruhan kekayaan alami dan kehidupan sosial yang ada. Secara historis, dengan menelusuri gerakan-gerakan reforma agraria sejak masa Yunani Kuno sampai abad ke-19, Tjondronegoro dan Wiradi juga menemukan fakta bahwa  konsep agraria telah digunakan dalam arti yang lebih luas dari sekadar tanah atau tanah pertanian.   Dengan merujuk pada hasil kajian E. Tuma (1965) tentang reforma agraria di berbagai negara (Yunani, Italia, Inggris, Perancis, Rusia, Mexico, Jepang, Mesir) 26 abad yang lalu,  mereka menunjukkan bahwa reforma agraria mencakup aspek yang sangat luas yaitu antara lain pemilikan tanah, pemusatan tanah dan pendapatan, diferensiasi kelas, skala usaha (kecil vs besar), rasio tanah/tenaga kerja, kekurangan lapangan kerja, dan surplus tenaga kerja. 





2.       Konsep Aspek Agraria

Di Indonesia, sebagaimana terbaca dalam UUPA No. 5/1960, para pendiri republik kita sebenarnya juga dapat dikatakan bahwa tindakan manusia dalam bidang keagrariaan juga mengandung dimensi-dimensi kerja dan interaksi/komunikasi. Dari sini, secara deduktif  kemudian dirumuskan dua proposisi dasar analisis agraria sebagai berikut:  pertama, ketiga subyek agraria memiliki hubungan teknis dengan obyek agraria dalam bentuk kerja pemanfaatan berdasar hak penguasaan (land tenure) tertentu;  kedua, ketiga subyek agraria  satu sama lain berhubungan atau berinteraksi secara sosial dalam rangka penguasaan dan pemanfaatan obyek agraria tertentu.  Merujuk pada Wiradi (1984:287) proposisi pertama merumuskan hubungan antara manusia dengan sumber agraria sedangkan proposisi kedua merumuskan hubungan antara manusia dan manusia. dapat dikatakan bahwa tindakan manusia dalam bidang keagrariaan juga mengandung dimensi-dimensi kerja dan interaksi/komunikasi. Dari sini, secara deduktif  kemudian dirumuskan dua proposisi dasar analisis agraria sebagai berikut:  pertama, ketiga subyek agraria memiliki hubungan teknis dengan obyek agraria dalam bentuk kerja pemanfaatan berdasar hak penguasaan (land tenure) tertentu;  kedua, ketiga subyek agraria  satu sama lain berhubungan atau berinteraksi secara sosial dalam rangka penguasaan dan pemanfaatan obyek agraria tertentu.  Merujuk pada Wiradi (1984:287) proposisi pertama merumuskan hubungan antara manusia dengan sumber agraria sedangkan proposisi kedua merumuskan hubungan antara manusia dan manusia.

Karena kerja bersifat searah, maka hubungan teknis pemanfaatan obyek atau sumber agraria oleh subyek bersifat searah pula, kendati sebenarnya dapat juga dibayangkan suatu respon ekologis dari sumber agraria sebagai reaksi terhadap 5tindakan pemanfaatan .  Hubungan teknis agraria itu menunjuk pada cara kerja subyek mengelola sumber agraria untuk pemenuhan

kepentingan-kepentingan sosialekonominya. Tergantung pada idiologinya -- untuk sebagian  juga  teknologinya -- cara-cara kerja itu bervariasi antar subyek, mulai dari cara konservatif di satu ujung sampai cara eksploitatif di ujung lain.  Variasi tersebut kemudian menghasilkan adalah aneka pola pemanfatan sumber-sumber agraria. 

Variasi atau atau cara kerja yang berbeda-beda dalam suatu kawasan tertentu dapat menjadi sumber konflik antar subyek agraria. Konflik terjadi terutama apabila  cara kerja subyek tertentu  menimbulkan dampak buruk ekologis yang juga harus ditanggung subyek lain tanpa suatu kompensasi apapun.   Misalnya, eksploitasi hutan menyebabkan kerusakan tata air tanah di hulu sehingga petani sawah di hilir menjadi korban kekeringan atau sebaliknya kebanjiran.  Contoh lain, operasi pukat harimau sampai ke perairan dangkal menjarah dan merusak “area tangkap” (fishing ground) nelayan tradisional atau nelayan kecil.

Berbeda dengan hubungan teknis kerja, maka interaksi sosial atau hubungan komunikasi antara subyek-subyek agraria bersifat dua arah.  Dasarnya adalah hak

penguasaan obyek atau sumber agraria yang dipunyai oleh masingmasing subyek.  Perbedaan antar subyek dalam hak penguasaan sumber agraria itu menghasilkan suatu tatanan sosial yang dikenal sebagai struktur (sosial) agraria.  Dengan demikian struktur agraria pada dasarnya menunjuk pada hubungan antar berbagai status sosial menurut penguasaan sumbersumber agraria.  Hubungan tersebut dapat berupa hubungan “pemilik dengan pemilik”, “pemilik dengan pembagi-hasil”, “pemilik dengan penyewa”, “pemilik dengan pemakai”, dan lain-lain. 

Hubungan sosial agraria itu mengandung berbagai dimensi, antara lain sosiologis, antropologis (budaya), ekonomi, politik, dan hukum.  Berbagai dimensi tersebut mengisyaratkan bahwa kajian agraria menuntut pendekatan interdisipliner walaupun, mengutip Tjondronegoro (1999:4), berbagai demensi itu dapat saja “mencapai konvergensi dalam suatu tinjauan sosiologi”.  Dengan ini sebenarnya hendak dikatakan bahwa hubungan sosial agraria, atau interaksi sosial antar subyek-subyek agraria, bukanlah suatu realitas yang sederhana, walaupun juga bukanlah sesuatu yang sangat rumit.

Konflik agraria, sebagai suatu gejala struktural, berpangkal pada ketidakserasian atau benturan kepentingan antar subyek dalam hubungan agraria.   Jelasnya, jika dua atau lebih pihak subyek memiliki klaim hak penguasaan atas suatu unit sumber agraria yang sama, maka terjadilah sengketa agraria.  Misalnya, suatu perusahaan memiliki klaim HPH atas suatu kawasan hutan dan, pada saat yang sama, atas kawasan yang sama komunitas setempat juga mengajukan klaim hak ulayat.  Saling klaim semacam ini kerap berakhir dengan sengketa berkepanjangan, terlebih jika pemerintah misalnya memiliki kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik yang mengarahkannya untuk memihak pengusaha.

Pola-pola hubungan atau interaksi sosial agraria yang terdapat dalam masyarakat sangat ditentukan oleh formasi sosial yang ada.  Perbedaan dalam cara produksi yang eksis dan tipe cara produksi yang dominan akan mengakibatkan perbedaan dalam pola hubungan agraria yang berlaku.  Beberapa tipe cara produksi yang mungkin eksis dalam suatu masyarakat, dengan salah satu diantaranya tampil dominan, adalah (Jacoby, 1971; Wiradi, 2000:183):  (a)tipe naturalisme:  sumber agraria telah memahami konsep agraria dalam arti yang luas, sesuai dengan pengertian asli atau sebenarnya.  Dalam UU tersebut sumber agraria dirumuskan sebagai “seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya...” (Pasal 1 ayat 2).  “Dalam pengertian bumi selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi bawahnya serta yang berada di bawah laut” (Pasal 1 ayat 4). “Dalam pengertian air termasuk baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia” (Pasal 1 ayat 5). “Yang dimaksud dengan ruang angkasa ialah ruang di atas bumi dan air tersebut…” (Pasal 1 ayat 6).

Berdasarkan Pasal 1 (ayat 2,4,5,6) UUPA 1960 itu dapat disimpulkan bahwa konsep agraria menunjuk pada beragam obyek atau sumber agraria sebagai berikut: Tanah, atau “permukaan bumi”,  yang merupakan  modal alami utama dalam kegiatan pertanian dan peternakan. Petani memerlukan tanah untuk lahan usaha tani dan peternak memerlukannya untuk padang rumput.

Perairan, baik di daratan  maupun di lautan, yang merupakan modal alami utama dalam kegiatan perikanan (sungai, danau, dan laut). Pada dasarnya perairan merupakan arena penangkapan ikan (fishing ground) bagi komunitas nelayan. ! Hutan, kesatuan flora dan fauna dalam suatu kawasan tertentu, yang merupakan modal alami utama dalam kegiatan ekonomi komunitas-komunitas perhutanan. Komunitaskomunitas tersebut hidup dari pemanfaatan beragam hasil hutan (kayu dan non-kayu) menurut tata kearifan lokal. ! Bahan tambang, mencakup beragam bahan tambang/mineral yang terkandung didalam "tubuh bumi" (di bawah permukaan bumi dan laut) antara lain minyak, gas, emas, bijih besi, timah, batu-batu mulia (intan, berlian, dll.), fosfat, batu, dan pasir. Udara, dalam arti “ruang diatas bumi dan air” maupun  materi udara (O2) itu sendiri.  Arti penting materi "udara" sebagai sumber agraria  semakin terasa belakangan ini, setelah polusi udara akibat asap (kebakaran

 Jika suatu pola pemanfaatan tidak memberi peluang resiliensi  (pemulihan diri) alam secara memadai maka sumber-sumber agraria akan mengalami degradasi terus-menerus sampai pada suatu titik ia berbalik

Perhatikan bahwa substansi amanah  teologis ini  terbaca juga dalam rumusan Pasal 1 ayat 2 UUPA 1960: "Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”. Hutan, pabrik, kendaraan bermotor dan paparan aerosol (dari mesin pendingin, racun ataupun kosmetika semprot, dll.) mengganggu kenyamanan, keamanan, dan kesehatan manusia.

Selain mencakup beragam obyek agraria (unsur kekayaan alami), seperti telah disinggung sebelumnya, pengertian agraria juga mencakup unsur “kehidupan sosial” yang secara implisit menunjuk pada beragam subyek agraria.  Unsur subyek dalam hal ini menunjuk pada manusia yang menguasai dan memanfaatkan bumi dan segala isinya  atau secara spesifik obyek agraria.  Dalam hal ini, hak penguasaan atas bumi tersebut merupakan suatu amanah teologis juga.  Dalam Kitab Kejadian  disebutkan: “...lalu Allah berfirman kepada mereka (Adam dan Hawa, Pen.): 'Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burungburung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi'” 4( Kej. 1:28).

Secara garis besar subyek agraria tersebut dapat dipilah ke dalam tiga kelompok sosial yaitu komunitas, pemerintah (representasi negara), dan perusahaan swasta (private sector).  Masing-masing kelompok subyek tersebut dapat dipilah lagi ke dalam tiga unsur yang saling terkait secara hirarkis: komunitas mencakup unsur-unsur individu, keluarga, dan kelompok;  pemerintah mencakup unsur-unsur pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pemerintah desa;  perusahaan swasta mencakup unsur-unsur perusahaan kecil, perusahaan sedang, dan perusahaan besar. Secara khusus kelompok pemerintah juga mencakup badan usaha (perusahaan) milik pemerintah (pusat/daerah) yang merupakan salah-satu wujud dari organisasi-organisasi pemerintah.





3.      Pembangunan Stuktur pada Aspek Agraria

Reformasi adalah pembaruan yang bertujuan mengoreksi bekerjanya berbagai institusi dan berusaha menghilangkan berbagai hal buruk yang dianggap sebagai sumber malfuction-nya institusi dalam suatu tata sosial. Dalam reforma agraria, perubahan tidak hanya perubahan fungsi tetapi juga perubahan struktur5. Perubahan struktural tersebut mendasarkan diri pada hubungan-hubungan intra dan antar subyek-subyek agraria dalam kaitan akses (penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan) terhadap obyek-obyek agraria. Namun secara konkret, reforma agraria diarahkan untuk melakukan perubahan struktur penguasaan tanah dan perubahan jaminan kepastian penguasaan tanah bagi rakyat yang memanfaatkan tanah dan kekayaan alam yang menyertainya6. Perubahan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tersebut tentunya ke arah yang lebih adil dan lebih demokratis.

Sejalan dengan pendapat di atas, Kuhnen7 memberi pengertian reforma agraria : a bundle of measures for overcoming the obstacles to economic and social development that based on shortcomings in the agrarian structure. Pendapat Kuhnen tersebut menitik-beratkan pada fungsi reforma agraria untuk mengatasi hambatan dalam pembangunan ekonomi dan sosial yang didasarkan pada kelemahan struktur agraria itu sendiri. Di Indonesia, kelemahan struktur agraria tersebut berupa ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam. Di mana korporasi atau pemilik modal memiliki akses yang besar dibandingkan masyarakat yang tinggal di sekitar sumber daya alam terletak. Hal demikian memicu timbulnya kemiskinan dan ketidak adilan, yang diyakini menjadi peyumbang utama keterbelakangan suatu negara8. Untuk mencegahnya, maka reforma agraria perlu menjadi landasan pembangunan.

Saat ini, ada pendapat yang keliru dalam memaknai negara maju/modern, yaitu negara yang menitikberatkan pada kegiatan industri, terutama industri manufaktur. Dengan demikian, jika Indonesia ingin menjadi negara modern harus mengubah paradigma pembangunannya dari negara agraris ke negara industri. Industrialisasi di Indonesia menjadi keharusan dan merupakan hal yang tidak dapat ditangguhkan pelaksanaannya. Pendapat demikian jelas keliru. Kalaupun harus menjadi negara industri, namun industrialisasi tersebut harus berbasis pertanian bukan manufaktur;. Untuk mewujudkan rencana pembangunan memang membutuhkan investor untuk menjalankannya, namun perlindungan dan pemenuhan kebutuhan rakyat kecil seperti petani, buruh atau nelayan harus menjadi prioritas.

Pasal 28A UUD 1945 menegaskan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Pasal ini memberi perlindungan HAM pada hak-hak individu untuk menjaga kelestarian hidupnya dan sumber mata pencahariannya. Hal demikian penting karena kegiatan pembangunan berdampak pada eksistensi penguasaan dan pemilikan tanah oleh rakyat, khususnya tanah pertanian oleh petani. Perlindungan HAM atas hak-hak individu bangsa Indonesia sebenarnya sudah menjadi concern dari idealisme para penyusun UUPA meskipun UUPA bernuasa populis. Tujuan berlakunya UUPA yang mengakhiri dualisme hukum tanah nasional, tidak hanya dimaksudkan untuk menimbulkan unifikasi hukum namun juga untuk menghambat laju modal asing (yang diperkuat kedudukannya dengan berlakunya hukum tanah pemerintah Kolonial Belanda), yang sama sekali tidak menjamin perlindungan hukum atas kepentingan rakyat Indonesia.

Alih fungsi lahan-lahan pertanian subur ke non pertanian seperti pembangunan jalan tol, merupakan contoh nyata bagaimana pemerintah tidak concern terhadap lahan pertanian. Kebijakan konversi lahan pertanian ke non pertanian, menunjukkan pembangunan berbasis pertanian bukanlah prioritas. Hal ini ditunjang pula oleh peraturan perundang-undangan yang tidak konsisten. Undang-undang No. 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, Pasal 44 ayat (1) menegaskan bahwa lahan yang sudah ditetapkan sebagai lahan pangan berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialih-fungsikan. Namun ayat (2) pasal tersebut memperkecualikannya jika kepentingan umum membutuhkan, asal sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Peraturan yang dimaksud adalah Undang-undang No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Pada undang-undang tersebut, ruang lingkup kepentingan umum dititikberatkan pada penyediaan tanah untuk memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur (Pasal 10 UU No. 2 tahun 2012).

Untuk menjadi negara modern, Indonesia dapat tetap berwujud negara agraris. Salah satu caranya dengan menjadikan reforma agraria sebagai landasan pembangunannya. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, hukum berfungsi sebagai sarana pembaruan masyarakat. Fungsi hukum demikian melengkapi fungsi hukum dari yang sekedar sebagai kontrol sosial (social control). Sebagai kontrol sosial, hukum lebih berfungsi untuk mempertahankan status quo dalam kehidupan masyarakat. Pada negara yang sedang membangun seperti Indonesia; fungsi hukum sebagai alat kontrol sosial saja kurang dapat mengakomodasi kebutuhan rakyat yang dinamis. Untuk itu diperlukan peran lebih besar dari hukum untuk menjadi sarana pembaruan masyarakat. Hukum harus dapat membantu terwujudnya perubahan masyarakat ke arah yang diinginkan sebagai tujuan pembangunan, di mana tujuan pembangunan tersebut harus selaras dengan tujuan negara, dalam hal ini tujuan untuk mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar